Selasa, 20 Desember 2011

Teknik reparasi PERINEUM

tahap persalinan


PENDAHULUAN
Persalinan (partus) adalah peristiwa keluarnya janin dari uterus. Persalinan terdiri dari dua peristiwa utama yaitu proses persalinan-kala I (labor) dan proses kelahiran-kala II (delivery).
  • Proses persalinan (labor) : proses dilatasi dan pendataran servik yang progresif akibat adanya kontraksi uterus yang berulang serta proses meneran untuk mengawali ekspulsi produk konsepsi.

  • Proses kelahiran (delivery) : ekspulsi janin dan plasenta.

Tujuan penatalaksanaan pada peristiwa persalinan [partus] adalah memungkinkan berlangsungnya proses tersebut secara normal dengan komplikasi ibu atau janin yang sangat minimal.



Staf penolong persalinan harus melakukan segala sesuatu untuk :
  1. Memberikan kenyamanan bagi pasien dan menumbuhkan adanya interaksi staf kamar bersalin dengan keluarga.
  2. Menjelaskan proses persalinan yang sedang berlangsung.
  3. Memberi kesempatan bagi ibu untuk kontak fisik sedini mungkin dengan bayinya yang baru dilahirkan.
  4. Mengantisipasi setiap permasalahan atau komplikasi yang terjadi.


Penatalaksanaan terbaik pada peristiwa persalinan adalah observasi yang baik dan melakukan intervensi dengan cara dan pada saat yang tepat.


Persalinan dan kelahiran adalah peristiwa kompleks yang melibatkan prostaglandincytokine dan hormon seksual steroid.


Jenis persalinan didasarkan pada usia kehamilan sehingga dikenal adanya persalinan preterm yang terjadi pada kehamilan < 37 mgg . 
persalinan aterm adalah persalinan yang terjadi pada kehamilan > 37 minggu.

PERSIAPAN FISIOLOGIS MENJELANG PERSALINAN


Sebelum onset “true labor” terjadi beberapa perubahan fisiologis.


Pada nulipara, biasanya kepala janin masuk panggul ± 2 minggu sebelum persalinan [lightening].

Kontraksi Braxton Hicks menjadi semakin sering (setiap 10 – 20 menit).

Beberapa hari sebelum persalinan, servik menjadi lunak-mendatar dan sedikit membuka serta terdapat ”show” (berupa lendir bercampur darah) . 


Disebut inpartu, biasanya bila dilatasi servik sudah mencapai  2 cm.
“True labor” :
  1. Kontraksi uterus berlangsung secara teratur dan semakin sering serta intensitas yang semakin kuat.
  2. Rasa tak nyaman pada punggung dan abdomen .
  3. Terjadi dilatasi servik.
  4. Kontraksi uterus tak dapat dihentikan dengan pemberian sedasi.
“False labor”
  1. Kontraksi uterus tidak teratus dan interval semakin panjang dan intensitas tidak berubah.
  2. Rasa nyaman terutama pada bagian bawah abdomen.
  3. Tidak terdapat dilatasi servik.
  4. Rasa sakit umumnya hilang dengan pemberian sedasi.

KARAKTERISTIK PERSALINAN NORMAL

Stadium persalinan dibagi menjadi 3 :
    1. Persalinan kala I : mulai saat inpartu sampai dilatasi lengkap
    2. Persalinan kala II : mulai dilatasi lengkap sampai janin lahir
    3. Persalinan kala III : Kala pengeluaran plasenta
    4. [Persalinan kala IV] : 2 jam pasca persalinan
clip_image002
Gambar Kurve persalinan normal dan posisi kepala janin

Menurut Friedman 1967, Persalinan kala I terdiri dari 2 fase :
  • Fase LATEN (dilatasi 0 – 3 cm)
  • Fase AKTIF (dilatasi 3 – 10 cm)
Fase aktif :
  • Fase akselerasi
  • Fase dilatasi maksimal
  • Fase deselerasi
Pada fase aktif, kecepatan dilatasi servik pada nulipara ± 1.2 cm dan pada multipara ± 1.5 cm. Lama kala I persalinan pada nulipara 8 jam dan pada multipara 5 jam.

Evaluasi kemajuan persalinan


Persalinan Kala I dinilai melalui kecepatan perubahan pendataran dan dilatasi servik serta desensus bagian terendah janin.


Frekuensi dan durasi kontraksi uterus bukan tanda-tanda untuk menilai kemajuan proses persalinan pada kala I.
Persalinan kala II dimulai saat pembukaan lengkap. Kemajuan persalinan kala II dinilai dari desensus - fleksi dan putar paksi dalam bagian terendah janin.
Faktor yang perlu dinilai dan dicatat dalam persalinan :
  1. Waktu terjadinya kontraksi uterus pertama kali, frekuensi kontraksi uterus, keadaan selaput ketuban, riwayat perdarahan atau gangguan pada gerakan janin.
  2. Riwayat alergi, medikasi, saat makan terakhir.
  3. Tanda vital ibu, protein urine dan glukosa serta pola kontraksi uterus.
  4. Detik jantung janin, presentasi dan tafsiran berat badan janin.
  5. Keadaan selaput ketuban, dilatasi & pendataran servik dan derajat penurunan bagian terendah janin melalui pemeriksaan dalam (vaginal toucher) kecuali bila terdapat kontraindikasi melakukan VT (perdarahan antepartum).
Pada saat masuk kamar bersalin perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium :
  • Hematokrit dan hemoglobin.
  • Faal pembekuan darah (waktu pembekuan dan waktu perdarahan).
  • Golongan darah.
PERSALINAN KALA I
  • Pasien diperkenankan untuk berjalan-jalan sesuai keinginannya.
  • Tidak perlu puasa, dapat diberikan makan dalam bentuk cair.
  • Bila perlu dapat diberikan cairan intravena untuk memenuhi kebutuhan cairan dan kalori.
  • Nadi dan tekanan darah diperiksa setiap 2 – 4 jam.
  • Dilakukan pencatatan keseimbangan cairan (produksi urine dan cairan intravena atau peroral).
  • Dapat dipertimbangkan pemberian analgesia bila pasien memerlukan oleh karena merasa sangat nyeri dan tidak bisa hilangk dengan pemberian informasi mengenai jalannya persalinan.
  • Pemeriksaan kesehatan janin melalui pemantauan janin dengan kardiotokografi.
  • Pada kasus resiko rendah dengarkan DJJ tiap 30 menit (pada kasus resiko tinggi setiap 15 menit) segera setelah kontraksi uterus.
  • Pemantauan kontraksi uterus melalui palpasi dilakukan tiap 30 menit untUk menentukan frekuensi, durasi dan intensitas his. Pada fase aktif penilaian dilatasi dan desensus dengan VT dilakukan tiap 2 jam.
Tindakan amniotomi rutin tidak boleh dilakukan sebelum dilatasi servik lengkap.

PERSALINAN KALA II
  • Pada awal kala II (dilatasi servik lengkap), terdapat reflek meneran dari ibu pada tiap kontraksi uterus.
  • Tekanan abdomen disertai dengan kontraksi uterus akan mendorong janin keluar dari jalan lahir.
  • Pada kala II, kemajuan persalinan ditentukan berdasarkan derajat desensus (gambar 12.2). Pada saat bagian terendah janin berada setinggi spina ischiadica maka dikatakan penurunan pada stasion 0.
  • Pada primigravida, umumnya kala II berlangsung selama ± 50 menit dan pada multigravida ± 20 menit.
MEKANISME PERSALINAN NORMAL

Selama proses persalinan, janin melakukan serangkaian gerakan untuk melewati panggul -“seven cardinal movements of labor” yang terdiri dari :
  1. Engagemen
  2. Fleksi
  3. Desensus
  4. Putar paksi dalam
  5. Ekstensi
  6. Putar paksi luar
  7. Ekspulsi
Gerakan-gerakan tersebut terjadi pada presentasi kepala dan presentasi bokong.

Gerakan-gerakan tersebut menyebabkan janin dapat mengatasi rintangan jalan lahir dengan baik sehingga dapat terjadi persalinan per vaginam secara spontan.
Engagemen
  • Suatu keadaan dimana diameter biparietal sudah melewati pintu atas panggul.
  • Pada 70% kasus, kepala masuk pintu atas panggul ibu pada panggul jenis ginekoid dengan oksiput melintang (tranversal)
  • Proses engagemen kedalam pintu atas panggul dapat melalui proses normalsinklitismus , asinklitismus anterior dan asinklitismus posterior :
    • Normal sinklitismus : Sutura sagitalis tepat diantara simfisis pubis dan sacrum.
    • Asinklitismus anterior : Sutura sagitalis lebih dekat kearah sacrum.
    • Asinklitismus posterior: Sutura sagitalis lebih dekat kearah simfisis pubis(parietal bone presentasion
Fleksi

Gerakan fleksi terjadi akibat adanya tahanan servik, dinding panggul dan otot dasar panggul.
Fleksi kepala diperlukan agar dapat terjadi engagemen dan desensus.
Bila terdapat kesempitan panggul, dapat terjadi ekstensi kepala sehingga terjadi letak defleksi (presentasi dahi, presentasi muka).


Desensus


Pada nulipara, engagemen terjadi sebelum inpartu dan tidak berlanjut sampai awal kala II; pada multipara desensus berlangsung bersamaan dengan dilatasi servik.
Penyebab terjadinya desensus :
  1. Tekanan cairan amnion
  2. Tekanan langsung oleh fundus uteri pada bokong
  3. Usaha meneran ibu
  4. Gerakan ekstensi tubuh janin (tubuh janin menjadi lurus)
Faktor lain yang menentukan terjadinya desensus adalah :
  • Ukuran dan bentuk panggul
  • Posisi bagian terendah janin
Semakin besar tahanan tulang panggul atau adanya kesempitan panggul akan menyebabkan desensus berlangsung lambat.
Desensus berlangsung terus sampai janin lahir.
Putar paksi dalam- internal rotation
  • Bersama dengan gerakan desensus, bagian terendah janin mengalami putar paksi dalam pada level setinggi spina ischiadica (bidang tengah panggul).
  • Kepala berputar dari posisi tranversal menjadi posisi anterior (kadang-kadang kearah posterior).
  • Putar paksi dalam berakhir setelah kepala mencapai dasar panggul.
Ekstensi

Aksis jalan lahir mengarah kedepan atas, maka gerakan ekstensi kepala harus terjadi sebelum dapat melewati pintu bawah panggul.


Akibat proses desensus lebih lanjut, perineum menjadi teregang dan diikuti dengan“crowning”

Pada saat itu persalinan spontan akan segera terjadi dan penolong persalinan melakukan tindakan dengan perasat Ritgen untuk mencegah kerusakan perineum yang luas dengan jalan mengendalikan persalinan kepala janin.


Episiotomi tidak dikerjakan secara rutin akan tetapi hanya pada keadaan tertentu.


Proses ekstensi berlanjut dan seluruh bagian kepala janin lahir.


Setelah kepala lahir, muka janin dibersihkan dan jalan nafas dibebaskan dari darah dan cairan amnion. Mulut dibersihkan terlebih dahulu sebelum melakukan pembersihan hidung.
Setelah jalan nafas bersih, dilakukan pemeriksaan adanya lilitan talipusat sekitar leher dengan jari telunjuk. Lilitan talipusat yang terjadi harus dibebaskan terlebih dahulu. Bila lilitan talipusat terlalu erat dapat dilakukan pemotongan diantara 2 buah klem.

Putar paksi luar- external rotation


Setelah kepala lahir, terjadi putar paksi luar (restitusi) yang menyebabkan posisi kepala kembali pada posisi saat engagemen terjadi dalam jalan lahir.


Setelah putar paksi luar kepala, bahu mengalami desensus kedalam panggul dengan cara seperti yang terjadi pada desensus kepala.
Bahu anterior akan mengalami putar paksi dalam sejauh 45menuju arcus pubis sebelum dapat lahir dibawah simfisis.


Persalinan bahu depan dibantu dengan tarikan curam bawah pada samping kepala janin .
Setelah bahu depan lahir, dilakukan traksi curam atas untuk melahirkan bahu posterior.


Traksi untuk melahirkan bahu harus dilakukan secara hati-hati untuk menghindari cedera pada pleksus brachialis.
Setelah persalinan kepala dan bahu, persalinan selanjutnya berlangsung pada sisa bagian tubuh janin dengan melakukan traksi pada bahu janin.
Setelah kelahiran janin, terjadi pengaliran darah plasenta pada neonatus bila tubuh anak diletakkan dibawah introitus vagina.




Penundaan yang terlampau lama pemasangan klem pada talipusat dapat mengakibatkan terjadinya hiperbilirubinemia neonatal akibat aliran darah plasenta tersebut.

Sebaiknya neonatus diletakkan diatas perut ibu dan pemasangan dua buah klem talipusat dilakukan dalam waktu sekitar 15 – 20 detik setelah bayi lahir dan kemudian baru dilakukan pemotongan talipusat diantara kedua klem.
clip_image053clip_image055




PERSALINAN KALA III
Persalinan kala III adalah periode persalinan antara lahirnya janin sampai lahirnya plasenta dan selaput ketuban.
Akibat masih adanya kontraksi uterus, ukuran plasenta dan “plasental site” mengecil sampai tersisa 25% → hematoma retroplasenta → terjadi separasi plasenta.
Separasi plasenta umumnya terjadi 5 menit setelah anak lahir.
Penatalaksanaan kala III :
  1. Penatalaksanaan klasik atau tradisional
  2. Penatalaksanaan aktif
Penatalaksanan fisiologik (ekspektatif)
Separasi plasenta dan selaput ketuban dibiarkan terjadi secara spontan.
Tanda separasi plasenta :
  1. Darah segar keluar dari vagina.
  2. Talipusat didepan vulva menjadi bertambah panjang.
  3. Fundus uteri naik.
  4. Bentuk uterus menjadi bulat dan mengeras
Setelah tanda separasi muncul, dilakukan masase uterus agar terjadi kontraksi uterus. Uterus yang sedang berkontraksi didorong kearah pelvis sehingga plasenta dan selaput ketuban bergerak seperti “piston” keluar vagina.
Plasenta yang keluar dicekap dan dipeluntir agar plasenta dan selaput ketuban dapat keluar secara utuh.
Penatalaksanaan aktif
Cara ini diyakini dapat menurunkan angka kejadian perdarahan pasca persalinan dari 4% menjadi 2%.
  1. Setelah janin lahir, disuntikkan methergin 0.5 ml i.m (atau oksitosin bila terdapat kontra-indikasi pemberian methergin)
  2. Untuk menghindari inversio uteri traksi talipusat hanya dilakukan saat ada kontraksi uterus dan dengan meletakkan tangan suprasimfisis
  3. Klem talipusat dipegang dengan tangan kanan dan talipusat diregangkan.
  4. Tangan kiri melakukan masase fundus uteri, bila sudah timbul kontraksi uterus, tangan kiri dipindahkan supra-simfisis dan kemudian dilakukan tarikan talipusat secara terkendali untuk melahirkan plasenta.
  5. Jangan melakukan tarikan pada talipusat untuk melahirkan plasenta pada saat tidak ada kontraksi uterus untuk mencegah terjadinya inversio uteri.





clip_image069

clip_image071

Inspeksi Plasenta dan selaput ketuban
  • Plasenta dan selaput ketuban diperiksa dengan jalan memegang talipusat untuk membuat plasenta dalam keadaan tergantung dan memeriksa “fetal surface” untuk melihat adanya pembuluh darah yang melewati tepi selaput ketuban.
  • Selaput ketuban diperiksa untuk memastikan tidak adanya selaput yang tertinggal dalam uterus.
  • “Maternal surface” plasenta diperiksa untuk menyingkirkan kemungkinan adanya kotiledon yang tertinggal dalam uterus.
Retensio Plasenta
  • Batasan umum yang digunakan untuk retensio plasenta adalah bila plasenta tetap berada dalam uterus selama 1 jam.
  • Keadaan ini sering disertai dengan perdarahan pasca persalinan.
Etiologi:
  1. Inkarserasi dari plasenta yang sudah lepas seluruhnya dengan ostium servik yang sudah menutup.
  2. Atonia uteri.
  3. Plasenta akreta ( melekat pada desidua dan miometrium) atau plasenta perkreta ( menembus sampai peritoneum viseralis/serosa).
Penatalaksanaan :
  • Bila perdarahan sangat banyak maka plasenta harus segera dilahirkan dengan cara-cara yang sudah dijelaskan atau dilakukan plasenta manual.
  • Plasenta akreta atau plasenta perkreta memerlukan tindakan histerektomi.
Inspeksi Jalan Lahir
  • Setelah plasenta dan selaput ketuban lahir, perdarahan biasanya berhenti.
  • Bila terdapat robekan perineum atau terdapat luka akibat tindakan episiotomi maka hal tersebut memerlukan perbaikan.
  • Pada persalinan dengan ekstraksi cunam, inspeksi jalan lahir harus meliputi servik.

PERBAIKAN LUKA JALAN LAHIR
Episiotomi
Episiotomi adalah insisi pada perineum dan vagina yang sudah sangat teregang untuk mencegah agar tidak terjadi perluasan dan robekan jalan lahir tak beraturan yang akan dapat menyebabkan terjadinya prolapsus uteri kelak.
Pandangan saat ini adalah bahwa tindakan episiotomi tidak boleh dilakukan secara rutin oleh karena dapat menyebabkan nyeri perineum yang berkepanjangan dan gangguan hubungan seksual sampai 6 bulan pasca episiotomi.


Bila luka episiotomi meluas menjadi ruptura perinei derajat III dan IV, sfingter ani harus diperbaiki dengan baik agar tidak terjadi inkontinensia urine dan atau inkontinensia ani.


Bila episiotomi harus dikerjakan karena regangan perineum yang sangat berlebihan, maka maksud dan tujuan dari tindakan tersebut harus dijelaskan pada pasien dan keluarganya terlebih dahulu. Tindakan episotomi harus dengan ijin pasien.


Episiotomi harus dikerjakan dengan anestesi regional atau lokal.
Episotomi dapat dikerjakan secara medial [midline] atau mediolateral.


Episiotomi Mediana :


- Perdarahan sedikit.
- Mudah meluas menjadi ruptura perinei totalis.
- Tehnik perbaikan lebih mudah.
- Keluhan dispareunia atau nyeri pasca persalinan minimal .


Episiotomi Medio-lateral:
- Perdarahan lebih banyak.
- Jarang meluas menjadi ruptura perinei totalis.
- Tehnik perbaikan lebih sulit.
- Keluhan dispareunia dan nyeri pasca persalinan lebih sering terjadi.




clip_image077



Ruptura perinei
Dikenal 4 derajat ruptura perinei :
  1. Derajat I : cedera pada commisura posterior, mukosa vagina dan otot dibelakangnya menjadi terbuka.
  2. Derajat II : cedera dinding vagina bagian posterior dan otot perineum, sfingter ani utuh.
  3. Derajat III : robekan pada sfingter ani namun mukosa rektum utuh.
  4. Derajat IV : kanalis ani terbuka dan robekan dapat meluas ke rectum.
Prinsip perbaikan luka episiotomi :
1. Hemostasis.
2. Restorasi anatomis tercapai tanpa jahitan berlebihan.
3. Benang yang digunakan chromic cat-gut atau poliglikolik # 3-0 .
clip_image080
clip_image083


Perbaikan pada ruptura perinei derajat IV
clip_image086
Gambar Perbaikan ruptura perinei totalis
A. Mendekatkan mukosa dan submukosa anorektum dengan benang “absorable” (misalnya chromic # 3-0 atau 4-0 atau Vicryl. Dilakukan identifikasi tepi atas laserasi canalis ani dan jahitan ditempatkan melalui submukosa anorektum dengan jarak ± 0.5 cm kearah lubang anus.
B. Lapisan kedua ditempatkan melalui otot rectum dengan Vicryl 3-0 secara jelujur atau terputus. ” Lapisan penguat” ini harus disatukan dengan ujung luka pada sfingter ani ( berupa otot polos sirkuler sejauh 2 – 3 cm dari canalis ani)
C. Dilakukan identifikasi ujung sfingter ani eksterna yang putus dan kemudian dijepit dengan “Allis” klem
D. 4 jahitan terputus pada otot sfingter ani yang terputus posisi jam 3-6-9-12
Robekan servik
  • Robekan servik dapat terjadi bila pasien meneran pada saat dilatasi servik belum lengkap dan ketuban sudah pecah.
  • Pasca tindakan persalinan operatif pervaginam (ekstraksi cunam), dapat menyebabkan terjadinya robekan servik.
  • Untuk keperluan hemostasis perbaikan robekan servik harus dimulai pada apex luka.
clip_image088
PENATALAKSANAAN PASCA PERSALINAN
Sebelum dirawat di ruang perawatan nifas, pasien pasca persalinan harus
  1. Keadaan umum baik .
  2. Kontraksi uterus baik dan tidak terdapat perdarahan pervaginam.
  3. Cedera perineum sudah diperbaiki.
  4. Kandung kemih kosong.

Tahapan masa nifas


Masa nifas terbagi menjadi tiga tahapan, yaitu :
  1. Puerperium dini
    Suatu masa kepulihan dimana ibu diperbolehkan untuk berdiri dan berjalan-jalan.
  2. Puerperium intermedial
    Suatu masa dimana kepulihan dari organ-organ reproduksi selama kurang lebih enam minggu.
  3. Remote puerperium
    Waktu yang diperlukan untuk pulih dan sehat kembali dlam keadaan sempurna terutama ibu bila ibu selama hamil atau waktu persalinan mengalami komplikasi.
Kebijakan Program Nasional Masa Nifas
Kebijakan program nasional pada masa nifas yaitu paling sedikit empat kali melakukan kunjungan pada masa nifas, dengan tujuan untuk :
  1. Menilai kondisi kesehatan ibu dan bayi.
  2. Melakukan pencegahan terhadap kemungkinan-kemungkinan adanya gangguan kesehatan ibunifas dan bayinya.
  3. Mendeteksi adanya komplikasi atau masalah yang terjadi pada masa nifas.
  4. Menangani komplikasi atau masalah yang timbul dan mengganggu kesehatan ibu nifasmaupun bayinya.
Asuhan yang diberikan sewaktu melakukan kunjungan masa nifas:
KunjunganWaktuAsuhan
I6-8 jampost partumMencegah perdarahan masa nifas oleh karena atonia uteri.
Mendeteksi dan perawatan penyebab lain perdarahan serta melakukan rujukan bila perdarahan berlanjut.
Memberikan konseling pada ibu dan keluarga tentang cara mencegah perdarahan yang disebabkan atonia uteri.
Pemberian ASI awal.
Mengajarkan cara mempererat hubungan antara ibu dan bayi baru lahir.
Menjaga bayi tetap sehat melalui pencegahan hipotermi.
Setelah bidan melakukan pertolongan persalinan, maka bidan harus menjaga ibu dan bayi untuk 2 jam pertama setelah kelahiran atau sampai keadaan ibu dan bayi baru lahir dalam keadaan baik.
II6 haripost partumMemastikan involusi uterus barjalan dengan normaluterus berkontraksi dengan baik, tinggi fundus uteri di bawah umbilikus, tidak ada perdarahanabnormal.
Menilai adanya tanda-tanda demaminfeksi dan perdarahan.
Memastikan ibu mendapat istirahat yang cukup.
Memastikan ibu mendapat makanan yang bergizi dan cukup cairan.
Memastikan ibu menyusui dengan baik dan benar serta tidak ada tanda-tanda kesulitan menyusui.
Memberikan konseling tentang perawatan bayi baru lahir.
III2 minggupost partumAsuhan pada 2 minggu post partum sama dengan asuhan yang diberikan pada kunjungan 6 hari post partum.
IV6 minggupost partumMenanyakan penyulit-penyulit yang dialami ibu selama masa nifas.
Memberikan konseling KB secara dini.

periode masa nifas " Lochea dan TFU nifas "

Tinggi Fundus Uteri Pada Masa Nifas :
  • Hari ke 1 : fundus uteri setinggi pusat (umbilicus / pusar).
  • Hari ke 2 : fundus uteri berada 2 jari di bawah pusat.
  • Hari ke 7 : fundus uteri berada pada pertengahan antara pusat dan simphisis.
  • Hari ke 10 : fundus uteri berada pada simphisis, dan setelah hari ke 10 biasanya sudah sulit untuk dilakukan palapasi.

  Perubahan Fisiologis Pada Masa Nifas
1.      Sistem reproduksi
a.    Uterus
Uterus secara berangsur-angsur menjadi kecil (involusi) sehingga akhirnya kembali seperti sebelum hamil
1.      Bayi lahir fundus uteri setinggi pusat dengan berat uterus 1000 gr
2.      Akhir kala III persalinan tinggi fundus uteri teraba 2 jari bawah pusat dengan berata uterus 750 gr.
3.      Satu minggu post partum tinggi fundus uteri teraba pertengan pusat simpisis dengan berat uterus 500 gr
4.      Dua minggu post partum tinggi fundus uteri tidak teraba diatas simpisis dengan berat uterus 350 gr
5.      Enam minggu postpartum fundus uteri bertambah kecil dengan berat uterus 50 gr
b.    Lochia
Lochia adalah cairan sekret yang berasal dari cavum uteri dan vagina dalam masa nifas
Macam – macam Lochia
1.      Lochia rubra (Cruenta ): berisi darah segar dan sisa – sisa selaput ketuban, sel-sel desidua, verniks kaseosa, lanugo, dam mekonium, selama 2 hari post partum.
2.      Lochia Sanguinolenta : berwarna kuning berisi darah dan lendir, hari 3 – 7 post partum.
3.      Lochia serosa : berwarna kuning cairan tidak berdarah lagi, pada hari ke 7 – 14 post partum
4.      Lochia alba : cairan putih, setelah 2 minggu
5.      Lochia purulenta : terjadi infeksi, keluar cairan seperti nanah berbau busuk
6.      Lochiastasis : lochia tidak lancar keluarnya.
c.     Serviks
Serviks mengalami involusi bersama-sama uterus. Setelah persalinan, ostium eksterna dapat dimasuki oleh 2 hingga 3 jari tangan, setelah 6 minggu persalinan serviks menutup
d.    Vulva dan Vagina
Vulva dan vagina mengalami penekanan serta peregangan yang sangat besar selama proses melahirkan bayi, dan dalam beberapa hari pertama sesudah proses tersebut, kedua organ ini tetap berada dalam keadaan kendur. Setelah 3 minggu vulva dan vagina kembali kepada keadaan tidak hamil dan rugae dalam vagina secara berangsur-angsur akan muncul kembali sementara labia manjadi lebih menonjol.

e.    Perineum
Segera setelah melahirkan, perineum menjadi kendur karena sebelumnya teregang oleh tekanan kepala bayi yang bergerak maju. Pada post natal hari ke 5, perineum sudah mendapatkan kembali sebagian besar tonusnya sekalipun tetap lebih kendur dari pada keadaan sebelum melahirkan.
f.      Payudara
Perubahan pada payudara dapat meliputi :
1.      Penurunan kadar progesteron secara tepat dengan peningkatan hormon prolaktin setelah persalinan.
2.      Kolostrum sudah ada saat persalinan produksi Asi terjadi pada hari ke-2 atau hari ke-3 setelah persalinan.
3.      Payudara menjadi besar dan keras sebagai tanda mulainya proses laktasi
2.      Sistem Perkemihan
Buang air kecil sering sulit selama 24 jam peratam.kemungkinan terdapat spasine sfingter dan edema leher buli-buli sesudah bagian ini mengalami kompresi antara kepala janin dan tulang pubis selama persalinan.
Urin dalam jumlah yang besar akan dihasilkan dalam waktu 12 – 36 jam sesidah melahirkan. Setelah plasenta dilahirkan, kadar hormon estrogen yang bersifat menahan air akan memgalami penurunan yang mencolok. Keadaan ini menyebabkan diuresis. Ureter yang berdilatasi akan kembali normal dalam tempo 6 minggu.
2.      Sistem Gastrointestinal
Kerapkali diperlukan waktu 3 – 4 hari sebelum faal usus kembali normal. Meskipun kadar progesteron menurun setelah melahirkan, namun asupan makanan juga mengalami penurunan selama satu atau dua hari, gerak tubuh berkurang dan usus bagian bawah sering kosong jika sebelum melahirkan diberikan enema. Rasa sakit didaerah perineum dapat menghalangi keinginan ke belakang
3.      Sistem Kardiovaskuler
Setelah terjadi diuresis yang mencolok akibat penurunan kadar estrogen, volume darah kembali kepada keadaan tidak hamil. Jumlah sel darah merah dan hemoglobin kembali normal pada hari ke-5.
Meskipun kadar estrogen mengalami penurunan yang sangat besar selama masa nifas, namun kadarnya masih tetap lebih tinggi daripada normal. Plasma darah tidak begitu mengandung cairan dan dengan demikian daya koagulasi meningkat. Pembekuan darah harus dicegah dengan penanganan yang cermat dan penekanan pada ambulasi dini.
4.      Sistem Endokrin
1.      Kadar estrogen menurun 10% dalam waktu sekitar 3 jam post partum. Progesteron turun pada hari ke 3 post partum.
2.      Kadar prolaktin dalam darah berangsur-angsur hilang
5.      Sistem muskulosklebal
Ambulasi pada umumnya dimulai 4 – 8 jam post partum. Ambulasi dini sangat membantu untuk mencegah komplikasi dan mempercepat proses involusi.
6.      Sistem integumen
1.      Penurunan melanin umumnya setelam persalinan menyebabkan berkurangnya hyperpigmentasi kulit
2.      Perubahan pembuluh darah yang tampak pada kulit karena kehamilan dan akan menghilang pada saat estrogen menurun.